Merantau

Merantau. Ada gak sih di KBBI? Setau gue, merantau adalah ciri khasnya orang Minang. Merantau itu adalah berpindah dari satu hati ke hati lainnya. Merantau adalah move on. Merantau adalah kabur dari rumah. Oke, cukup. Intinya, merantau itu adalah meninggalkan kampung halaman untuk mengejar cita-cita (?).  
Merantau dilakukan bukan berarti karena tidak menyayangi dengan sepenuh hati kampung halaman. Banyak hal yang menyebabkan itu terjadi. Mulai dari pergantian presiden (?), naiknya harga BBM (?), kalahnya mama bermain arisan (?), ditikung di tikungan terakhir (?) dan masih banyak lagi. Bagi yang mau curhat kenapa merantau, silahkan isi di kotak di bawah ini. Gak ada ya? Ya udah gak usah bikin.

Merantau terkuak di dalam fikiran gue saat masih di bangku SMP. Ketika SMA, fikiran itu pun menjadi mantap di hati gue untuk pergi merantau. Biar apa? Biar belajar kehidupan di Jawa? Biar tidak menjadi orang yang rasis? Biar mendapatkan pendidikan yang lebih baik? Biar menjadi orang yang mandiri? Bukan, biar terlihat lebih keren aja. Gitu.  
Di daerah asal gue, pulau Sumatera, provinsi Sumatera Barat, atau yang lebih dikenal dengan Padang, padahal Padang itu ibukotanya ya, pulau Jawa itu digosipkan sebagai surganya Indonesia. Gatau sih surga apa, surga dunia? Ah ini masih malam kamis, belum malam jum’at (?). Setelah tamat SMA, akhirnya gue bener-bener merantau ke pulau Jawa. Dari Sumatera Barat ke Jawa Timur.
Merantau menjadi moment pertama gue kencing di dalam pesawat. Uh rasanya itu, sama aja sih. Nah, di dalam pesawat, yang menjadi perhatian gue sebagai lelaki, ehem, pria, adalah pakaian pramugarinya. Pramugara? Gak ngurus. Pakaiannya itu batik dan dalem sampai ke mata kaki, wuih melambangkan banget kan Indonesianya. Namun, ketat dan belahan roknya itu tinggi sekali. Gue gak berani noleh kan jadinya, ke rok ibu-ibu. Pandangan pertama halal, dan gak noleh-noleh ke yang lain. Terus ketika mencontohkan cara pemakaian pelampung darurat, sekali-kali buffering dong. Jadi, pas pramugari mencontohkan cara pemakaian pelampung darurat dan buffering, penumpang gak panic berlarian karena sibuk streaming (?).
Berhubung di dalam pesawat HP gak boleh nyala jaringannya, bertanya ke orang terdekat duduknya adalah modus paling tidak ketahuan. Untuk diketahui, di dalam pesawat HP tidak boleh dinyalakan jaringannya. Coba aja disebelah gue cewek cakep, aduh gue pasti tidak sanggup untuk bertanya karena gue udah tau jawaban hanya dari tatapan matanya. Kalau dia itu, bukan jodoh gue. Untuk diketahui, jodoh gue cakep hati atau inner beauty.
Berbahasa Indonesia juga menjadi kendala buat gue gunain dalam kehidupan sehari-hari. Berhubung biasanya itu menggunakan bahasa Minang. Jadi, bahasa Indonesia gue terdengar aneh. Mau dengar? Sini pinnya, gue kirimin VN.     
Pergi merantau sudah pasti resikonya adalah jauh dari orang tua, keluarga, teman dan tanah yang telah memberikan pangan kepada kita. Katanya sih, orang-orang yang sudah merantau, menangis sebelum keberangkatan untuk yang pertama kalinya. Namun itu gak berlaku bagi gue, karena apa? Karena sebelum berangkat gue udah nangis duluan. Nangis serius? Bukan, acting biar keliatan lebih dramatis. Gitu. Hanya karena aku pergi, bukan berarti aku meninggalkanmu wahai Ibu, wahai Ayah.
Untuk diketahui, ini diketik pada hari Rabu, 24 Desember 2014, tepat pada hari terjadinya Tsunami 10 tahun lalu di Aceh. Mari kita kirimkan doa untuk saudara sebangsa dan setanah air. Berdoa, mulai~
    

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Send your indonesian to me.. You have my pin ... Hahaha keren ini mah.. Untung gak disebutkan kalo alfi dari pedalam sumatera barat

    BalasHapus
  3. Sabar, wak kan lai ka pulang ka :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer