Nyarai



                “Priiiit, priiit, priiit”, “tiiiiin, tiiin, tiiin”. Suara itu saling bersahut-sahutan. Tak tentu suara mana yang ingin didengar dan juga suaranya yang tak mengenakkan alat indera manusia yang terdapat di sisi kanan dan kiri kepala, telinga.

                “Dasar bego” ucap gue dalam hati, di mulut, di radio, di televisi dan di internet kepada diri gue sendiri. Namun, hanya dalam hati dan di mulut saja yang terjadi. Karena gue bukan penyiar radio, belum. Karena gue bukan presenter gossip, belum. Karena gue engga ada paketan, puas lo?

19 jam sebelumnya…

                Gue terbangun pada pukul 05.00 dengan perasaan bersalah. Menyadari bahwa semalam gue tidur lebih dari pukul 00.00. Padahal ini adalah hari libur. Seharusnya tidur gue mendapatkan porsi yang lebih. Seharusnya guling gue dipeluk lebih lama. Seharusnya bantal gue ilernya bisa lebih besar. Seharusnya aku bisa memimpikanmu lebih lama, mimpi buruk. Bergegas gue tidur lagi, tetapi teringat janji untuk pergi explore hari ini. Ya, kegiatan foto-foto agar bisa update social media dengan berkedok reuni.

                Beranjak dari tempat tidur sembari menyetrika iler dengan tangan habis menggaruk pantat. Jijik. Beranjak dari tempat tidur dengan wajah berbinar karena mendengar kukukan ayam yang gue tahu, itu bukan mp3 dari alarm, yang gue tahu mereka sedang melihat malaikat, menebar rezki ke seluruh umat yang telah diperintahkan oleh Tuhan Sang Pemberi Rezki, dakwah. Bergegas ke kamar mandi untuk mandi. Ingat, gue mandi pakai air di bak. Bukan menggunakan butiran kisah asmara kita yang hanya sesaat, kira-kira dua bulanan. Ingat, yang dimandiin tubuhku bukan hatiku karena penuh dengan luka, nanti iritasi.


                Dingin, namun tak sedingin sikapmu. Basi. Seperti biasanya, gue selalu packing sebelum berangkat. Engga ada yang ketinggalan, selama punya uang lebih karena nanti bisa membeli di jalan. Prinsip non-ekonomi. Gue pun berangkat dari rumah, sendirian. Cai, teman pertama yang harus gue jemput. Ke rumahnya mengingatkan gue akan kenangan lama. Ya, rumahnya pernah menjadi tempat kencan gue dengan mantan. Ulfa, teman kedua yang harus gue jemput. Setelah memanggil-manggil di depan rumahnya yang memiliki pagar, dia tak kunjung keluar. Chatpun balasnya juga lama. Kemudian salah satu teman yang lain ngasih tau kalau dia sudah pindah rumah. Sialan. Gue engga dikasih tau. Beruntung, rumah lamanya tidak berpenghuni. Jadi, gue engga perlu menahan malu bila yang keluar orang lain. Bila yang keluar cantik, gue bakal nyatain perasaan. Bila kasat mata tapi tak bisa disentuh, kabur.    

                Rumah barunya dekat, katanya. Setelah berjalan pelan, dia melambai-lambai dari kejauhan setelah gue suruh di chat. Patuh memang dia untuk seukuran orang yang sudah punya prinsip hidup. Bajunya hitam. Kemudian gue mendekat. Ulfa yang gue kenal bertubuh kecil, rambut sepunggung, perempuan, hiperaktif, dan memiliki sepeda kayuh dominan warna merah. Di tempat dia melambai tadi, yang gue lihat bersama cai adalah bertubuh besar, berkumis, rambut sebahu, pria, adem ayem, memiliki sepeda kayuh dominan warna merah, dan menggunakan baju hitam. Bukan sulap bukan sihir. Dia berubah dan gue merasa kehilangan. Dia menghilang. Setelah beberapa lama menunggu dan kebingunangan, akhirnya ketemu setelah gue melihat mamanya keluar dari rumah barunya.

                Raka, teman ketiga yang harus gue jemput.  Berhubung dia menawarkan untuk membawakan pastel dan kue bolu, ya hanya sesimpel itu. Engga menunggu lama dan engga salah rumah. Salaman dengan orang tuanya dan cus, berangkat. Penderitaan gue sebagai supir travel yang take home dan single driver belum berakhir, baru saja dimulai.

                Bercerita banyak hal selama perjalanan. Tentu, setiap kalimat selalu diawali dengan “aku” atau Bahasa daerah gue, “awak”, kalau menggunakan “den”, terlalu kasar. “Awak di Bandaung…..”,”Awak di Padang....”,”Awak di Malang…”. Namanya juga manusia, ingin setiap kisah hidupnya menjadi pusat perhatian, setidaknya kisah hidupnya tersebar. Ya, seperti cinta yang tak hanya menyebar menggerogoti hati, tapi juga nafsu *ups. Berhenti sejenak untuk membeli kebutuhan seperti sandal jepit, minum, dan cemilan. Gue bertanya kepada diri sendiri, karena gue terlalu malu untuk bertanya kepada kasir kenapa engga ada yang menjual cinta di sana? Padahal kan di saat itu gue sangat membutuhkan. Anjaaaay.

                Yey, sampai. Namun di titik pertemuan dengan teman yang lain. Dia dari kota Padang. Menunggu sekitar satu jam-an. Ditemani oleh orang gila, kewarasannya tidak seperti kebanyakan orang, yang menyesal telah mengambil sampah Durian dari kresek karena dia sadar bahwa itu baunya sungguh tidak enak sekali, apalagi untuk dimakan. Kemudian orang itu menemukan plat nomer kendaraan. Dipajang di dinding kemudian berpura-pura menyetir. Lalu berpura-pura menilang kendaraan tersebut, padahal dinding. Namun tak tahu apa yang harus dilakukan setelah menilang. Terus berpura-pura mencintai. I know that feel, the last sentence.

                Tesya, teman keempatpun datang disaat kami membeli nasi bungkus. Dia tahu sekali untuk hadir disaat yang tepat. Semua orang sudah bersiap untuk pergi ke TKP. Sandal jepit, baju ganti dan lain-lain. Namun, dia hanya membawa pakaian yang dipakai dan uang. Setidaknya, dia hadir. Setelah puas menyalahkannya karena terlalu lama dan kamipun kembali melanjutkan perjalanan. Perjalannya sangat menyenangkan karena dia kembali disalahkan. Kemudian ditambah-tambahkan dengan yang lain. Cimeeh, nanti gue bakal posting apa itu cimeeh. Contohnya begini, fakta : jidatnya di melebihi normal. “Cha, cukup kan sejadah buat sujud?”, “Cha, cukup kan air untuk membasuh muka?”. Oke, cukup

                Akhirnya kami sampai di pos pertama tempat wisata air terjunnya. Membayar tour guide, agar kami tak tersesat. Berhubung engga bawa peta, engga bawa kompas dan engga bawa kamu, tempat hatiku merasa damai walaupun selalu tersesat. Kamipun berjalan sebelum berdoa.

                Perjalanannya terasa berat sekali, karena memang gue membawa 5 nasi bungkus dan 2 botol air mineral 1.5 liter ditambah cuaca panas siang hari, tracking pada jam 11.00. Padahal yang lainnya tidak membawa apa-apa kecuali raka, 1 tas yang berisi pakaian dan kotak dandannya. Kejam memang, gue berasa mengasuh. Beruntung membawa para ladies, karena capek gue bisa ditutupi mereka untuk berhenti sejenak. Kalau gue yang minta berhenti, kan malu.

                Pepohonan yang hijau, kalau putih berarti salju, udara yang segar, kalau engga segar berarti udah masuk es (?), percikan air sungai jernih yang menampakkan dasarnya, kalau engga jernih berarti susu sapi, kemerduan tabrakan air dengan batu kali besar, kalau engga merdu berarti suara gue, menemani perjalanan kami. Engga ada berpapasan dengan hewan buas, padahal gue pengen. Bertemu dengan harimau sembari dengan kekuatan alam gue berubah menjadi raja harimau. Harimau yang menghadangpun menjadi tunduk patuh. Mengantarkan kami sembari naik di punggungnya. Imaginasi. Hanya beberapa pendaki yang kami jumpai. Saat itu, ada sekelompok pemuda daerah sana yang berbahasa Indonesia. “Ndak tau aku do”, “Udah makan mu”, “Aku pergi ke sana sama kamu nak, tu ternyata salah parkir, malu aku deknyo”,” Cuma itu yang aku punyanyo, ndak ada lagi”,”Udah bikin tugasmu? Aku setengah siap barunyo”. Jujur, gue geli. Engga kebayang bagi gue seberapa gelinya teman-teman saat gue berbahasa Indonesia pada awal-awal di Jawa. Mungkin sekarang masih geli, soalnya gue gelitikin. Hah.

                Selain itu, ada lagi percakapan yang gue denger. Kali ini bukan geli. Jadi kisahnya seperti ini. Udin, memiliki kebun pisang. Pisangnya berbuah. Kemudian Udin menjualnya ke pasar untuk membeli sembako. Namun, uang hasil jual pisang engga mencukupi. Kemudian untuk mengisi kekosongan perut, Udin membeli pisang goreng. “Dasar Udin goblok, kenapa engga goreng pisang kebunnya sendiri”, ujar teman Udin. Sekian, tulis bukan Udin.

                SubhanaAllah, satu kata yang gue ketik saat ini. Juga kata yang gue ucapkan saat sampai di air terjunnya, kalau gue engga salah. Tempat yang sudah gue dambakan pada liburan semester yang lalu. Engga seperti kamu, yang aku dambakan sejak TK. Pemandu menyuruh kami untuk beristirahat terlebih dahulu untuk mendinginkan badan sebelum mandi karena penuh keringat, gue doang sih. Kamipun mematuhi beliau. Beristirahat di warung yang tersedia di sana. Harga 1 botol minuman 1.5 liter adalah Rp, 10.000. Gue engga mau comment apapun karena memang ini provinsi gue tinggal. Menjelekkan, berarti merusak rumah sendiri. Ew.

                  Engga ada yang bisa gue jelaskan. Cukup foto aja ya. Eh ada deh.  Kolamnya cukup besar dan airnya dalam. Di tengah-tengah terdapat batu sehingga bisa berdiri. Kemudian gue dan Cai ke sana, melawan arus. Diikuti oleh Tesya. Dalam beberapa ayunan, dia engga bergerak sama sekali. Seluruh pengunjung yang berada di sana spontan melihatnya, tanpa rasa kasian merekapun mentertawakannya. Gue pun juga. Berhubung nafasnya habis dan kakinya engga sampai ke dasar, gue pun berenang menghampiri dan menolongnya. Modus. Tubuhnya pun selamat. Rasa malunyalah yang engga selamat.



                Waktu tak terasa sudah menunjukkan pukul 16.00. Pemandu wisatapun menyarankan kepada kami untuk bergegas pulang agar tracking tidak dalam keadaan gelap. Kamipun mengiyakan dengan berkemas walaupun sebenarnya gue masih belum puas.

                Kamipun sampai di pos pertama pada pukul 18.00. Lelahpun sudah terasa. Namun, hati senang karena bakal update foto baru. Tubuh kembali berkeringat. Namun, di pos pertama engga ada kamar mandi yang layak dan juga tulisannya hanya pria. Engga ada buat yang wanita. Atau kami yang engga liat. Mandipun direncanakan untuk dilakukan di rumah Ulfa Kembali, gue yang nyetir menuju rumah Ulfa di kota Padang.

Sesampainya di jalan mulus, Cai dan Tesya terlelap. Raka dan Ulfa hanya membisu. Mungkin karena lelah. Sesekali menjawab pertanyaan dari gue karena hanya mereka yang hafal jalan di kota Padang. Engga ada kejadian yang menarik di perjalanan.

Sesampainya di rumah Ulfa, gue pun bergegas, pindahin foto disusul ngemis dari mereka. Gue heran, karena bertemu lagi dengan Mem (mama)nya Ulfa. Padahal tadi pagi gue bertemu memnya di kota Payakumbuh, sekarang di kota Padang (berjarak lebih kurang 120km). Apa itu bukan Memnya Ulfa. Lantas siapakah Ibu itu? Mirip sekali dengan Memnya Ulfa. Gue masih belum sempat menanyakan kenapa itu bisa terjadi.

Sewaktu beristirahat di sana, siaran langsung final Piala Sudirman disiarkan. Katanya jam 19.30. namun, baru kick off sekitar pukul 21.00. Iklan. Engga menarik sama sekali karena lapangannya tergenang air hujan. Gue berasa pengen mandi di sana. Lumayan, nanti bisa masuk tipi. Setelah cukup beristirahat, kamipun kembali melakukan perjalanan untuk mengantarkan Raka dan Ulfa ke kostnya masing-masing. Sebelum itu, kamipun memutuskan untuk makan di Mie Aceh. Pemadaman lampu bergilirpun terjadi. Kuharap, kamu tak pernah menggulirkan cintaku ke air terjun.

Di perjalan, yang sewaktu itu terjadi pemadaman bergilir. Beberapa titik di jalan terjadi kemacetan yang disebabkan melonjaknya penonton warung yang memiliki genset untuk menonton final. Motorpun diparkir sembarangan di jalan. Beruntung, gue engga nyetir truk beroda 20. Gue nyetir mobil kecil sehingga bisa lewat dengan bebas. Sesampainya mereka berdua di kost, pertempuran gue masih panjang. Masih harus kembali lagi ke kota Payakumbuh. Capek? Memang. Namun itulah perjuangan. Cieilah.

Bercerita random selama perjalanan agar gue engga ngantuk, katanya. Mulai dari Bahasa gaul, anjay, ucul, manjay dan apapun itu gue engga ingat. Pokoknya random. Engga usah ngeyel.

Sewaktu lagi asik bercerita, anggap saja begitu, saat melihat truk-truk berjejer di kiri jalan, gue merasa aneh. Itu jam 00.00 lebih. Ternyata ada pemeriksaan polisi. Gue panik, karena pada pagi harinya ibu nelfon, “Fi, STNK ketinggalan di dompet ibu. Hati-hati aja ya nak”. Daaaaan, gue diberhentiin. Otomatis, kena.

Sudah lelah dan gue ingin semua berakhir cepat. Gue baru tahu kalau sekarang surat tilang biru engga ada lagi, kata polisinya engga ada kerjasama lagi dengan bank. Itu fakta atau gue yang bego? Bayar di sana katanya Rp, 85.000. Berhubung gue ingin menafkahi negara, gue pilih untuk sidang. Gue baru sadar setelah tanda tangan bahwa sidangnya pada tanggal 5 Februari, itupun gue tahu setelah di sebelah gue ada bapak-bapak yang juga ketilang, polisinya menjelaskan. Kemudian gue  menanyakan kepada polisi yang ngurus gue, ternyata benar. Masih lama, dan gue bakal engga ada SIM sampai tanggal 5 Februari. Selama mengurus proses penulisan dan tanda tangan, gue melihat kejadian baru. Dimana banyak pengendara yang disuruh berhenti namun enggan sembari mengklakson-klakson, lalu kabur. Padahal ada polisi yang memegang senjata api. Mereka bisa menembak dengan sigap, itulah yang gue bayangkan seandainya gue juga kabur.  Oke, suatu hari nanti gue bakal melakukan hal yang sama.    
Guepun pulang dengan terus menyalahkan diri sendiri.
Gue bersyukur, karena dengan kejadian itu. Gue kehilangan ngantuk sepanjang jalan. Kantuk yang telah gue derita dari rumah Ulfa tadi.  Sekian, terimakasih sudah membaca sepanjang ini tulisan dari gue. Maafkan dan terimakasih untuk @raka_lana @ulfaamalia @tesyakomala @febrirahmedia3.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer