Sindiran
“Jreeeng”. Itu adalah bunyi petikan gitar yang bisa gue petikkan sampai
hari ini. Sedih memang, untuk orang sekeren gue engga bisa memetikkan gitar
dengan bunyi yang lain. Btw, gue juga engga punya gitar. Jadi, itu gatau bunyi
petikan gitarnya siapa.
Sudah lama engga menuliskan apa yang gue pikirkan atau memang gue engga
berfikir sama sekali. Apalagi setelah bertemu dengannya. Dunia gue berasa
berbeda. Apa jangan-jangan gue berbeda dunia dengannya(?), berbeda budaya
mungkin (?). Sebenarnya akhir-akhir ini gue disibukkan dengan sesuatu kegiatan.
Kegiatannya itu classified, jadi
engga usah dibahas. Ya, seperti UAS lah.
Sindiran itu merupakan sesuatu
yang menyakitkan, layaknya cinta yang tak mendapat restu. Sesuatu yang
memotivasi, layaknya film bokep jepang ( semakin berisik semakin seru ).
Sesuatu yang menyenangkan, layaknya OVJ pada malam-malammu, malam-malamnya dan
bukan malam-malamku. Berhubung channel tv gue hanya menangkap Indosia* dan
ANT*. Jadi. Apakah OVJ itu menyenangkan atau engga? Tanyakan saja pada ratingnya
saat itu.
Dalam KBBI, sindiran itu berasal
dari kata sindir yang ditambah imbuhan –an. Ya, anak SD juga tau. Kamu udah
lulus SD? Atau SD yang meluluskanmu? Berasal dari kata sindir yang memiliki
arti celaan, ejekan bahkan mengatai. Jadi, sindiran itu memiliki arti sindiran
di pundakmu. Maaf, sindiran itu memiliki arti perkataan yang bermaksud
menyindir orang secara tidak langsung. Mungkin maksudnya via sms atau telfon.
Secara kerennya via sosial media, sticker mungkin?. Atau melalui surat yang
dikirimkan melalui merpati. Bukan.
“Fi, krannya ditutup”. Itu
adalah komentar dari saudara saat gue mengeluarkan air dengan bahan terlarut
berupa sisa metabolisme seperti urea, garam terlarut dan materi organik,
singkatnya, saat gue kencing. Gue baru menyadari beberapa hari yang lalu maksud
dari perkataan tersebut. Maksudnya adalah kalau cari pacar cari orang yang
berbudaya sama, sama-sama budaya Indonesia. Bukan. Maksudnya adalah kencing
tanpa bersuara. Bukan karena suaranya sama dengan suara derasnya air kran.
Tetapi karena sesungguhnya diam itu emas. Lumayan kan kencing emas. Dalam agama
gue, selagi gue masih ingat beragama, disunahkan untuk kencing jongkok agar air
kencingnya engga memercikkan diri kemana-mana. Susah kan ngumpulin emas kalau berantakan.
Lah kok gue bahas sindiran melalui sindiran. Itu diibaratkan pacaran dengan
orang yang lagi pacaran. Selingkuh dong? Bukan.
Banyak contoh dari kasus sindiran ini dan gue bakal memberikan tips cara
ampuh untuk menyindir orang lain. Bukan. Gue akan berbagi cerita tentang
beberapa hal mengenai sindiran ini
Di tanah kelahiran gue,
Minangkabau, konon ceritanya memarahi anak pada zaman dahulu itu dengan
sindiran. Tentu data yang gue dapatkan engga se-valid hasil pemilu yang katanya
valid (?). Tentu bukan dengan sindiran seperti saat ini, contohnya “dasar
bencong” kepada lelaki yang memang bukan sepenuhnya lelaki. Sindiran memiliki
filosofi layaknya sastra melayu. Namun, sindiran lebih dikenal dengan nama
Petatah Petitih atau seperti peribahasa. Air beriak tanda tak dalam. Bisa saja
ada anak kecil di samping kolam sedang bermain air sehingga pembuat peribahasa
menjadi terinspirasi. Air tenang menghanyutkan. Gue mau tanya, apakah bisa
hanyut di dalam gelas? Engga usah dijawab karena gue tau jawabannya. Gue punya
cerita tentang “dasar bencong”
Sekolah Menengah Pertama, kira-kira
saat itu gue udah sunat. Jauh dari rumah, sekitar 12 km. Tetapi engga sejauh
hubungan kita saat ini, sampai air mineral kemasan berwarna biru buatan negara
asing pun tak dapat menghilangkan kehausan. Saat di kelas 7, ada bencong, maksud
gue, ada lelaki yang bukan sepenuhnya lelaki. Semua berjalan normal karena gue
butuh dia. Bukan, bukan buat memenuhi hasrat gue sebagai lelaki. Normal antara
kehidupan gue dan dia tanpa ada lontaran sindiran yang menggemaskan itu. Namun,
semuanya berubah. Saat negara api menyerang? Saat naik kelas 8. Kok flat?
Dikira ini lucu?
Sindiran yang menggemaskan
itupun muncul saat naik kelas 8 karena udah engga sekelas. Jadi gue engga butuh
dia lagi sebagai “pesuruh”. Suruh beli nasi ayam, beli nasinya ayam, beli nasi
ayamnya, beli nasinya ayamnya dan lain-lainnya. Gue jahat? Memang. Tapi, untuk
saat itu gue engga peduli apa yang dirasakan lelaki yang bukan sepenuhnya
lelaki ini. Gue malah bangga, bangga karena jadi lelaki sepenuhnya. Ditambah
kelas 8 gue pacaran untuk pertama kalinya.
Akhirnya hubungan yang terlihat
baik itupun musnah. Dia udah membenci gue. Tetap, gue tetap engga peduli.
So, itu adalah contoh sindiran
yang tak baik, sangat engga baik untuk dibaca apalagi dilakukan. Jadi paragraph dan kalimat di atas lupakan
saja.
Ringan tangan ndak mamacah, capek
kaki ndak manaruang ( Ringan tangan tidak memecah, cepat kaki tidak menyandung
). Itu adalah contoh petatah petitih yang apabila ditelusuri lebih dalam
merupakan sindiran yang halus. Sehalus sikapmu kepadaku. Arti dari petatah
petitih itu sepengetahuan gue dan malas bertanya kepada yang lebih paham adalah
senang membantu dan tanggap dalam membantu namun tidak merusak. Mengerti?
Mungkin ini juga termasuk alasan mengapa pernikahan berbeda budaya masih belum
sepenuhnya mulus karena perbedaan latar belakang.
Bilamana gue telat pulang, lewat
dari maghrib, orang tua pernah bilang “ayam aja maghrib udah masuk kandang”.
Sepengetahuan gue, dalam agama, saat maghrib itu adalah waktu dimana
setan-setan berterbangan. Kalau jalan, kejauhan. Apalagi ngesot, mau menggoda
siapa? Menanti sang malam seilir tenggelamnya sang mentari. Namun, beberapa hal
lagi yang gue ketahui itu adalah….intinya ayam engga bisa melihat dalam
kegelapan. Makanya, kita engga pernah bertemu ayam dalam game Darnkness Reborn.
Entahlah itu game apa, gue browsing game dengan judul “Darkness”. Kemudian, gue
juga pernah baca artikel jikalau ternyata, ayam berkokok pada pagi hari itu
atau lebih tepatnya saat fajar dikarenakan ayam dapat melihat malaikat.
Sepengetahuan gue, dalam agama, saat fajar itu adalah waktu dimana malaikat
berterbangan menghantarkan rezki kepada umat manusia. Kalau jalan,
kejauhan…tidak untuk dilanjutkan. Kemudian timbul pertanyaan. Kenapa manusia
malah rami di saat setan yang operasi kerja? Bukan saat malaikat yang melakukan
operasi? Nah, sindiran ayamnya ajaib kan ternyata. Banyak hal yang dapat kita
ambil dari ayam. Dadanya, pahanya. Kok hanya itu yang gue ingat dari ayam? Jadi
jangan pulang maghrib ya, jangan pulang lewat maghrib juga. Ah gue menceramahi
diri sendiri saja dulu. Gue engga lagi menceramahi yang membaca ini karena gue
engga lagi berdiri di atas mimbar. Ceramah engga melulu harus di atas mimbar
kan tapi (?)
Gue tau kalau penyusunan cerita
ini kacau secara konsep karena memang gue bolos pelajaran Bahasa Indonesia saat
SMA. Saat SMP? Kan sibuk pacaran. SD? Gue masih belajar membaca. Sudah dapat
benang merah dari sindiran? Mungkin teman-teman semua bisa berbagi pengalaman
tentang sindiran yang menyakitkan dan menyenangkan. Baik yang terucapkan maupun
yang diucapkan. Tapi sebenernya ada baiknya ga sih?
Hai bro udah lama nih ya gak nulis? Nulis lagi dong!!
BalasHapus