Cengeng ya gue?
Ini
merupakan malam yang tenang bagi para jomblo karena gak ada pasangan yang
berlalu lalang, itu buat yang tinggal di tepi jalan gak tau gimana kalau yang
tinggal di hutan. Tulisan kali ini gue bakal ceritain ( lagi ) masa kecil gue
yang terjadi kira-kira saat gue berumur 10 tahun. Mungkin cerita kali ini bisa di
kategorikan dalam cerita yang sedih.
Berhubung gue itu cowok punya hobi
bermain bola dan kalau cewek mungkin hobi gue main bola juga, bola mata Barbie.
Hari itu merupakan pertandingan bola di kabupaten tempat gue tinggal antara SMP
1 dengan SMP 2 yang merupakan big match ( kala itu ). Gue yang merupakan anak
guru dari SMP 2 dengan senang hati ( di depan beliau ) untuk ikutan nonton sekolah
beliau. Namun gue ditinggal berhubung beliau lebih dulu pergi ke lapangan dan
meninggalkan uang Rp 5000 buat gue. Jarak rumah gue dengan lapangan cukup jauh
sekitar 6 km, jadi gak akan kuat bagi tubuh mungil gue untuk mengayunkan kaki
dan melangkahkan tangan ke lapangan dengan sepeda ( kala itu ). Tapi ibarat kata
pepatah jodoh itu tetaplah jodoh, gue tetep bisa pergi nonton ! yaitu tetangga
yang punya mobil ngajakin gue buat ikut dengan mereka ( orang tua temen
merupakan guru dari SMP 1 ). Selama di perjalanan kami berdua saling beradu argument
siapa yang bakalan jadi pemenang. Gak sampai pukul-pukulan sih cuma tarik-tarikkan
alis mata doang. Kemudian mobil di parkir sekitar 100 m dari lapangan. Gue gak
inget lagi gimana kronologi terjadinya pertandingan itu. Yang gue inget cuma momen
dimana gue saling tatap-tatapan dengan orang yang berharga dalam hidup gue,
yaitu ayah gue sendiri. Setelah pertandingan selesai gue kembali lagi ke mobil
temen. Bingo ! mobilnya udah lenyap, gak tau di telen bumi apa naik langit ke
tujuh ( gue ditinggal). Kemudian gue berlari dengan semua tenaga yang tersisa (
kan tadi nonton bola yang menggelinding, jadi letih ) ke tempat ayah. Dan bingo
( lagi ) ! Beliau juga udah gak ada di TKP. Apa yang harus gue lakuin?
Pertanyaan itu membentang luas di halaman fikiran gue. Kemudian gue beranikan diri untuk berjalan sambil berfikir keras mengingat jalan pulang ( gak punya hp saat itu apa lagi GPS ). “Jangan nangis kamu itu cowok, masak di tinggal aja nangis”. Lalu tanpa gue sadari air mata berharga gue telah membasahi pipi gue ( yang kala itu gak ada butiran merahnya ). Dengan berspesifikasi celana baru yang berisikan uang Rp 5.000 itu, gue berjalan sambil menangis tentunya. “Kenapa nangis nak? Kenapa jalan sendirian?”. Pertanyaan itu membuat gue takut, kenapa? Karena gue gak ngeliat dimana bapak itu berada ( saat itu lampu mati, lengkap yah penderitaan gue ). Saat api dari koreknya muncul gue pun mendekat dan menceritakan apa yang terjadi. Kemudiaan seorang pemuda kenalan bapak itu datang dan nganterin gue sampai ke rumah serta dibayar dengan uang Rp 5000 tadi. Sesampainya di rumah gue gak di peluk orang tua gue, malahan dapat sontekan ceramah semalaman. Sekarang saat gue fikir-fikir lagi bapak tadi itu bisa saja berkolaborasi buat nyulik gue. Namun itu gak terjadi sehingga gue bisa nulis seperti sekarang ini.
Pertanyaan itu membentang luas di halaman fikiran gue. Kemudian gue beranikan diri untuk berjalan sambil berfikir keras mengingat jalan pulang ( gak punya hp saat itu apa lagi GPS ). “Jangan nangis kamu itu cowok, masak di tinggal aja nangis”. Lalu tanpa gue sadari air mata berharga gue telah membasahi pipi gue ( yang kala itu gak ada butiran merahnya ). Dengan berspesifikasi celana baru yang berisikan uang Rp 5.000 itu, gue berjalan sambil menangis tentunya. “Kenapa nangis nak? Kenapa jalan sendirian?”. Pertanyaan itu membuat gue takut, kenapa? Karena gue gak ngeliat dimana bapak itu berada ( saat itu lampu mati, lengkap yah penderitaan gue ). Saat api dari koreknya muncul gue pun mendekat dan menceritakan apa yang terjadi. Kemudiaan seorang pemuda kenalan bapak itu datang dan nganterin gue sampai ke rumah serta dibayar dengan uang Rp 5000 tadi. Sesampainya di rumah gue gak di peluk orang tua gue, malahan dapat sontekan ceramah semalaman. Sekarang saat gue fikir-fikir lagi bapak tadi itu bisa saja berkolaborasi buat nyulik gue. Namun itu gak terjadi sehingga gue bisa nulis seperti sekarang ini.
Jadi temen bukan ninggalin gue,
mereka berfikir setelah gue melihat ayah bakalan pulang sama beliau. Tapi
ternyata bukan begitu. Alhamdulillah orang tua gue panic yang berarti itu
mereka sayang sama gue :D. Amanat yang didapat dari kisah gue adalah “
Berikanlah kepastian untuk suatu tindakan,kayak orang PDKT misalnya” eh
Sekian dulu buat cerita kali ini, thanks ya
Komentar
Posting Komentar