Finalku Sayang Finalku Malang
“Horeee…!!!”
itulah petikan merdu yang terpancar dari pita suara siswa-siswi SMA gue setelah
sang Pahlawan ( baca : ketua osis ) memproklamirkan dimulainya classmeeting.
Desahan-desahan sombong pun mulai terdengar dari berbagai penjuru dunia ( baca
: kelas ). Contoh : kelas gue pasti menang futsal, kan isinya bintang semua.
Bukan sebotol minuman bintang yang di konsumsi anak tetangga. Di samping itu,
desahan-desahan rendah diri juga menyeruak ke angkasa. Contoh : wah kelas gue
pasti kalah futsal nih, jangankan nendang bola nendang meja aja gak bisa. Bukan
meja guru apa lagi meja kepala sekolah tentunya. Semua orang pun mendaftarkan
namanya, bukan buat beli mobil “murah” itu ya. Tak terkecuali gue, yang
mendaftar buat ikut bermain futsal antar kelas itu.
Gara-gara
gak ada lapangan futsal, SMA gue nge-translate lapangan basket menjadi lapangan
futsal. Beruntung tiang basket terdiri dari dua kaki jadi tinggal nambah buat
mistarnya aja, simple kan. Ini bukan alasan kayak jomblo yang bilang single itu
prinsip. Padahal di rumah googling “kata-kata ampuh buat gombalin cewek” terus
di hafalin, bukan. Jadi pihak yang berwenang cuma nyediain bola sama peluit,
wasit juga. Tim gue terdiri dari cowok-cowok ganteng, putih, tinggi, lincah dan
lain-lain ( apa ? syirik? ). Sebut saja namanya Uda, Endo, Aha, Ana, Afi, Ima,
Ama dan gue tentunya. Bingo ! Kami dapat lawan yang tangguh di partai
pembukaan. Bukan partai-partai yang lagi nebar uang di jalanan, bukan.
“Silahkan memasuki lapangan basket” teriakan
dari yang berwenang. Dengan bergegas kami pun langsung menuju ke lapangan
dengan membawa aroma optimis dan pesimis. Tentu aroma pesimis yang mendominasi
ke dalam fikiran kami. Bukan pesimis moment saat di tolak gebetan, di tikung
mantan dan lain-lain. Tapi, peluit wasit keburu berbunyi sebelum kami sempat berkonsultasi
dengan psikolog di sekolah, Bimbingan Konseling ataupun psikolog di televisi,
Golden Ways. Beruntung supporter kami memberikan semangat yang penuh kasih
sayang, jomblo pasti gak tau rasanya. Kami pun menang 2-0. Gol pertama tercipta
setelah kiper lawan salah mengantisipasi bola sehingga dengan mudah Uda
memasukkan bola. Gol kedua…gue gak inget lagi yang pasti bukan gue, kan
cadangan.
Perjuangan
kami belum berakhir, tim unggulan lainnya pun telah menanti kami dengan tangan
di kaki, kaki di perut, perut di kepala. Eh bukan-bukan. Kemudian gue ngedenger
bisikan-bisikan yang bilang, “X.6 lawan kalian? Mainin aja squad cadangan,
kalau perlu yang lelaki keibuan aja”. Tapi mereka tetap nurunin pemain inti
yang katanya mau nyari top skor. Setelah itu, kami berhasil mengalahkan mereka
lewat drama adu penalti. Senang yang gak pernah gue bayangin pun menghiasi hari
gue kala itu. Ibarat nyamuk yang nyedot darah pakai vacuum cleaner, ibarat
obesitas yang langsung six pack dan lain-lain. Final pun telah menanti kami.
Dengan
penuh percaya diri kami memasuki lapangan, kayak cowok nembak cewek setelah tau
kalau ceweknya juga suka. Tapi rasa sakit yang tercabik-cabik itu kami rasakan
setelah sampai di final dan juga saat percaya diri, kayak cowok yang diterima
artis ibu kota terus 5 menit setelah itu diputusin. Kami kalah 2-0. Dua kali
tendangan melengkung yang tak terduga menjadi derita buat kami. Namun, kami
terhibur saat Aha menembakkan bola dari pertahanan kami ke arah pertahanan
lawan. Kalau di basket dari luar garis dapat poin 3, mungkin ini dapat poin 5.
Dukungan
yang hangat dari supporter kami membuat dunia serasa milik berdua. Kesedihan
tadi seakan-akan hanya seperti lubang di antara lautan. Jadi pesan yang dapat
di ambil dari cerita gue. Jangan pernah remehin kemampuan yang kita punya dan
jangan terlalu menyanjung kelebihan orang lain karena itu dapat membuat mental
block. Sekian terima kasih J.
Ting nong
Komentar
Posting Komentar