Kerupuk dan Gangster
Langit
cerah tak berawan mengiringi dayungan sepeda gue dan temen-temen. Ketika itu
kira-kira gue kelas 4 SD. Gak lupa pesawat-pesawat power ranger saling
bertempur di langit cerah itu, maklum imajinasi masa kecil gue. Gue sang kapten
menggayung sepeda di barisan terdepan dengan sepeda andalan gue, BMX ( baca : sangki, warna merah dan pakai
keranjang ). Gue mengangkut salah satu saingan di tangga juara kelas ( SD sih )
di belakang gue. Uang yang gue tabungin selama seminggu, Rp 5000 menjadi modal
buat pergi ke Pakan ( Pasar Tradisional ) di deket kampung. Tujuan gue cuma
satu, ya beli kerupuk.
“Kring-kring”
jeritan sangki gue mengawali perjalanan kami. Yagordan, itulah nama yang gue
kasih buat anggota tim layangan ini. Beranggotakan 8 orang dan 6 sepeda. Sepeda
gue yang kala itu baru merupakan hasil jerih payah gue menangis seharian
setelah tetangga beli sepeda baru, jadi gue sebagai temen ( baca : lawan ) juga
ingin memiliki kendaraan buat gaya. Kalau misalnya tetangga nanya pura-pura gak
tau aja dan kalau dia teriak pakai toa bilang aja lagi ada rezeki, simple kan.
Jalanan
aspal yang sepi dan jurang ( baca : sawah ) di kiri dan kanan menjadi trek kami
buat balapan, berhubung gue ngebonceng saingan berat jadi gue yang kalah.
Sebagai hukuman, jatah kerupuk gue harus di bagi-bagi. Sesampainya di Pakan
kami memarkir sepeda di semak-semak ( di film FBI yang gue tonton itu merupakan
tekhnik buat ngilangin jejak) dan segera ke toko mainan, kan masih anak-anak.
Tanyain semua mainan tokoh kartun yang kami tonton di hari Minggu pagi, gak
beli sih cuma pura-pura beli aja. Kalau misalnya sekarang yang ke Pasar mungkin
liat-liat cewek, kan udah remaja. Wajah suram, kesel dan lain-lain menjadi ending
dari kami dalam hal tanya-jawab mainan. Pit stop kami selanjutnya yaitu tempat
orang jual sate. Mau beli sate? Bukan, cuma buat nikmatin betapa harumnya asap
sate dangung-dangung. Sekarang gue pikir-pikir, itu merupakan perbuatan yang
geli. Setelah merasa puas ( menghisap penyakit ) kami pun bergegas untuk pergi
ke garis finish yaitu kerupuk langganan kami di tempat tante-tante. Yang
langganan kerupuknya bukan orang yang jual kerupuknya.
“Habis
ini gimana kalau ke bendungan? Airnya jernih” usul temen. “Ngapain?”Tanya temen
yang lain. “Buat ngelap ingus gue”cetus temen gue yang lainya lagi. “Gimana
kapten?” sambil ngebisik ke diri gue sendiri. Terserah mau bilang gue itu apa,
kan gue gak denger. Setelah mengambil sepeda, kami pun bergegas untuk pergi ke
bendungan. Namun di perjalan kami di hadang oleh gangster. Kayak sinetron-sinetron
yang gue tonton, ada opening, fighting, happy ending. Nah, ini merupakan
fightingnya. Kami yang mengetahui kalau gangster itu adalah gangster dalam
negeri ( anak-anak yang tinggal di daerah jalan ke bendungan ). Gue pun takut
tapi gak sampai pipis di celana, gak tau gimana dengan temen-temen yang
lainnya. Mereka pun menggertak kami, tapi gue gak ingat dialognya gimana.
Dengan formasi tiki-taka ( tekhnik bermain sepak bola Barcelona saat ini ) yang
gue perintahin, kami menyebar ke seluruh jalan biar focus mereka terbagi-bagi.
Satu sepeda dari anggota Yagordan gue telah lolos. Gue yang dapat bagian di
bagian tepi juga tancap gas, eh bukan tancap ngedayung. Gengster itu
nakut-nakutin gue sehingga arah sepeda terus mengarah ke jurang ( sawah tadi ).
Kemudian dia ngelepasin gue, gak tau kenapa mungkin karena dia ngeliat muka gue
udah pucat dan mau nangis. Gak tau apa dia, gue pucat dan mau nangis karena
karena hampir masuk jurang ( ngeles lelaki ngejaga image ). Kemudian teriakan
keras temen membuat gue pucat lagi, tapi gue lihat dia baik-baik aja. Gue
sebagai kapten pun merasa seneng semua temen selamat. Coba dulu gue tanya satu
persatu apa yang terjadi sama mereka semua, sayangnya waktu itu belum kepikiran. Sesampainya di
bendungan gue bertanya ke temen kenapa dia teriak begitu kenceng, ternyata
mereka mengambil kerupuk gue yang udah jadi jatah dia.
Untuk
merayakan kehilangan jatah dia, kami nyeburin dia ke bendungan. Gue rasa inilah
happy ending dari kisah kami. Gak tau sih apa semuanya seneng mandi di
bendungan ini, lupa lagi gue nanyainnya dulu. Kami semua pun bersenang ria
mandi di bendungan itu dengan hikmat, basa basinya sih begitu. Sampai sekarang,
kira-kira udah enam tahunan lebih gue gak bertemu dengan saingan berat di
kelas. Semoga gue bisa bertemu lagi dengan dia di masa depan dengan
memakai dasi, bukan dasi pengangguran
tapi dasi yang mengangkat nama baik keluarga kami. Berhubung kami berdua
sama-sama anak rerantau yang aslinya punya kampung di bebukitan, listrik
mungkin udah masuk tapi jalanan gue rasa masih bebatuan. Jadi amanat yang
didapat dari cerita gue adalah [ cari sendiri kan kamu kreatif ;) ].
Terima kasih udah nyimak cerita gue,
Muhammad Alfi. Jangan lupa buat pantengen terus blog gue. Sekian
Komentar
Posting Komentar